MokiNews.com, Jakarta – Abdul Hamim Jauzie, Warga Negara Indonesia, melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan pengujian kembali (judicial review) Perpres Nomor 14 Tahun 2021 terkait “kewajiban vaksinasi bagi masyarakat beserta sanksi menolak vaksinasi” ke Mahkamah Agung (MA).
Permohonan judicial review telah didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada Jumat (29/10).
Melalui Kuasa Hukumnya Saka Murti Dwi Sutrisna, S.H., Audaraziq Ismail, S.H., Bitra Mouren Ashilah, S.H., M.H., Mohammad Faisol Soleh, S.H., M.H., Rhendra Kusuma, S.H., dan Sandi Yudha Prayoga, S.H., M.H. dari P.I.D. Law Office, Abdul Hamim Jauzie menyampaikan bahwa permohonan judicial review ini didasarkan pada pengaturan kewajiban dan sanksi dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2021 yang diterbitkan oleh Presiden pada tanggal 9 Februari 2021.
Beberapa ketentuan yang diajukan untuk diuji adalah Pasal 13A Ayat (2), Pasal 13A Ayat (4), dan Pasal 13B yang mengatur tentang kewajiban vaksinasi bagi masyarakat serta sanksinya apabila dilanggar baik berupa sanksi administratif dan juga sanksi pidana. Ketentuan tersebut dianggap oleh pemohon cacat secara formil dan materill karena bertentangan dengan prosedur pembentukan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 12/2011 jo. UU No. 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan serta tidak sejalan dengan semangat jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) di bidang pemenuhan kesehatan dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, UU No. 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU No. 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Secara substansial, Pasal 13 dan Pasal 15 UU No. 12/2011 jo. UU No. 15/2019 mengatur bahwa materi muatan Perpres harusnya dapat mengakomodir materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan serta yang tidak kalah pentingnya tidak boleh mengatur ketentuan pidana. Dengan diaturnya ketentuan pidana dalam Pasal 13B Perpres 14/2021 tersebut, maka sudah sepatutnya tidak dibenarkan. Bahwa meskipun disandingkan ketentuan pidana dalam UU No. 4/1984 sama sekali tidak beralasan, pasalanya ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut hanya mengatur 2 (dua) bentuk tindak pidana dan sama sekali tidak mengakomodir ketentuan mengenai pelanggaran kewajiban vaksinasi, sehingga kedudukan ketentuan pidana dalam Perpres 14/2021 adalah berdiri sendiri.
Persoalan lain yang juga ditentang adalah masalah bentuk pemberian label “wajib” bagi masyarakat untuk vaksinasi, padahal jelas vaksinasi merupakan bagian dari “hak” atas kesehatan yang dijamin oleh Konstitusi serta aturan penerjemahnya yaitu UU No. 36/2009, UU No. 4/1984, dan UU No. 11/2005. Justru sebaliknya, label “wajib” merupakan domain yang seharusnya disematkan pada Negara melalui Pemerintah dan bukan berada pada masyarakat. Dalam hal ini Pemohon tidak kontra dengan vaksinasi, hanya saja label “wajib” dan sanksi yang perlu diluruskan. (Red)
Komentar