MokiNews.com, Banten-Orang yang sangat takut hilang kekuasaan boleh jadi karena memang ingin terus berkuasa. Tapi yang tragis bila ketakutannya itu dihantui oleh dosa-dosa yang telah dia lakukan selama berkuasa takut diketahui oleh banyak orang hingga dia perkirakan pasti ada yang hendak menggugat — atau bahkan — membalas perbuatan jahatnya itu sesuai dengan rada sakit hati orang banyak yang telah menderita karena perbuatannya itu yang selalu berdalih atas nama dan atas kepentingan orang banyak.
Hasrat untuk terus berkuasa itu dalam organisasi seperti apapun — mulai dari kelas Rukun Tetangga di Kampung hingga level nasional seperti penguasa tunggal di partai politik atau kepala pemerintahan pada tingkat daerah maupun pusat, biasanya perlu untuk dipertahankan habis-habisan hingga terkesan menjadi semacam pertaruhan antara hidup dan mati, pada umumnya karena memang akan sangat menentukan hidup atau mati dalam arti sebenarnya atau sekedar kiasan, sebab bisa mematikan mata pencaharian atau reputasi dan karier yang telah dirintis habis-habisan sebelumnya. Sehingga dunia — tanpa akhirat — seakan telah kiamat.
Karena itu banyak orang kini yakin satu diantara seabrek ragam persyaratan untuk menjadi pemimpin itu wajib memiliki basis spiritualitas yang kuat dan tangguh — dari bilik agama apapun — karena yang utama bagi seorang pemimpin itu mampu melihat, memahami dan percaya bahwa semua yang dia lakukan di bumi mempunyai keterkaitan dengan apa akan terjadi kemudian di langit.
Hanya dengan kesadaran dan pemahaman dan keyakinan spiritual yang kuat — yang memiliki keterkaitan serta hubungan dengan Tuhan — maka apa yang akan menjadi pilihan kebijakan yang kemudian hendak diwujudkan harus selalu ikut mengedepankan nilai-nilai ilahiyah — ibadah, wujud kebaikan untuk banyak orang dan dapat dinikmati oleh banyak orang tanpa kecuali. Maka itu dalam konsepsi agama — tidak hanya di dalam Islam — pemimpin itu adalah amanah. Jadi memang tidak perlu ngotot untuk dilakukan seperti yang sudah dianggap jamak dan pantas dilakukan saat menjelang Pemilu di Indonesia.
Apalagi kemudian untuk menjadi pemimpin di Indonesia sekarang makin norak dan vulgar, sangat terkesan tiada rasa malu — apalagi etika, moral dan akhlak — yang menjadi pondasi pijakan utama dalam perilaku berbasis spiritual.
Sosok ideal pemimpin yang mampu menyelamatkan negara — untuk kemudian bangsa Indonesia bisa lebih baik dan lebih beradab, menang hanya busa dilakukan oleh pemimpin yang berbasis spiritual yang kuat. Sehingga kebijakan politik yang dikakukan disandarkan pada etik profetik — kenabian — yang dituntun langsung oleh Tuhan dari langit. Begitu juga untuk kebijakan ekonomi, tak hanya sekedar berupaya untuk memakmurkan kehidupan rakyat, tetapi juga menciptakan rasa keadilan yang nyata serta menjaga asset negara sebagai milik bersama dalam kesadaran sebagai anugrah Allah. Sehingga sikap dan perbuatan korup, keculasan dan kedegilan untuk memperkaya diri sendiri serta kelompok atau gerombolan yang acap disebut mitra koalisi tidak sampai terjadi. Karena kekuasaan yang diperoleh senantiasa disadari sebagai amanah — sekedar menjalankan mandat rakyat, bulan mandat partai termasuk organisasi keagamaan tertentu, sehingga sikap adil dan bijaksana jauh dari upaya memecah belah persatuan dan kebersamaan umat beragama. Seperti yang diyakini dari falsafah Pancasila bagi bangsa serta ideologi negara Indonesia.
Hakikat amanah untuk menerima dan memahami tugas pokok seorang pemimpin itu, bisa dan harus menjadi penakar diri pribadi setiap calon pemimpin pada level serta tingkatan apapun. Apalagi untuk tingkat nasional yang akan berinfak langsung dalam tata pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Hingga marwah dan kepribadian bangsa Indonesia akan ditakar juga dari kualitas sosok pemimpin yang patut tampil dengan sikap elegan, ciamik dan cerdas — tidak plonga-plongo — apalagi sampai gagal paham dalam konteks topik bahasan pokok dan yang paling penting untuk disampaikan pada waktu dan tempat yang tepat. Tidak salah kaprah atau gagal paham yang akan menjadi cermin wajah bangsa secara keseluruhan. Itulah sebabnya, sosok pemimpin suatu bangsa itu harus cerdas, jeli dan pintar, serta trengginas dalam menyikapi kondisi dan situasi seperti apapun rumit dan daruratnya, demi dan untuk bangsa dan negara yang dipimpinnya.
Tugas seorang pemimpin itu patut dan harus dipahami sebagai amanah menjadi kunci diri agar tidak sampai berbuat atau melakukan sesuatu hal sekehendak hati sendiri. Termasuk dalam kebijakan organisasi atau kepengurusan partai politik. Karena akibatnya cukup banyak sudah dibuktikan oleh kader idealis partai yang melawan, mbalelo melompat pagar hingga mau menghamba pada organisasi atau partai yang lain.
Kecuali itu, memahami dan menghayati pengertian dari tugas seorang pemimpin itu adalah amanah, pasti akan mampu menyurutkan gejolak birahi dari sekedar keinginan hanya ingin kuasa semata. Indikator dari hasrat fir’unisme ini jelas akibat buruknya menjadikan ajang Pemilihan Umum (Pilkada, Pileg maupun Pilpres) menghalalkan segala cara untuk menang. Bahkan sikap nekat yang begitu berani mengeluarkan banyak uang sekedar untuk memenangkan kontestasi dalam Pemilu (Pilkada, Pilpres maupun Pileg), patut dipertanyakan itikat baiknya untuk benar dan serius mengemban amanah yang tersampir pada jabatan yang mungkin bisa direbut dengan cara yang culas itu. Lalu bagaimana mungkin rakyat yang telah direbut suaranya secara paksa itu kelak akan tetap menjadi perhatian dan memusingkan dirinya yang mungkin akan lebih sibuk mengkalkulasi sejumlah uang yang telah dia keluarkan ?
Jangan-jangan segudang uang yang telah dia tebarkan untuk mendulang suara itu adalah hasil hutangan, atau ijon yang harus dia tebus dengan harga yang tidak terhingga mahalnya. Seperti menjual tanah adat, atau melelang pulau sekalian berikut proyek prestisius yang dia anggap bisa menandai kekuasaan — legacy — bahwa dia pantas untuk dikenang, meski dalam makna cibiran belaku. Karena memang tidak memberi manfaat kepada rakyat banyak yang masih dominan miskin, lapar dan tidak punya pekerjaan. Sebab lapangan pekerjaan di kampung kita telah dijadikan satu paket dalam kontrak kerja dengan mereka yang dibilang investor.
Memimpikan pemimpin Indonesia masa depan Indonesia berbasis spiritual yang kuat, sungguh diharap mampu menangkal bius dunia yang memabukkan. Sehingga dalam setiap kebijakan, perbuatan maupun perilaku yang patut dijadikan contoh atau suri tauladan dapat menuntun rakyat banyak bisa juga bersikap bijak. Karena warga masyarakat luas pun perlu contoh– tauladan — dari etik profetik yang otentik, artinya etika yang tidak dimanipulasi seperti pada semua anggaran proyek, termasuk bantuan sosial dan subsidi yang masih terus dianggap halal dilakukan sampai sekarang.
Banten, 29 Juni 2023
Penulis : Jacob Ereste
Budayawan Banten
Komentar